Akhlakku Cerminan Ilmuku



✍🏼 *NOTULENSI KAJIAN ONLINE*📿
*GROUP TELAGA SURGA*

🗓 : Kamis, 15 November 2018
⏰ : 19.30 wib sd selesai

📚 *"Akhlakku Cerminan Ilmuku"*
 🧕🏻 *Ustadzah Halimah*

•┈┈┈◎❅❀❦🌹❦❀❅◎┈┈┈•

: بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ


Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh

Apa kabar para sahabat telaga surga?

Barakallah wa alhamdulillah... Semoga semua sahabat telaga surga senantiasa selalu dalam lindungan Allah swt, senantiasa selalu diberikan kesehatan, kebahagiaan, keberkahan dan inayah... 💝💐

Pertama-tama yang saya hormati pengurus Telaga surga... 😘💐💝

Yang saya sayangi Para sahabat telaga surga... 😘💝💐

Kajian kita malam ini adalah tentang
*Akhlakku Cerminan Ilmuku*

Akhlak... 🤔🤔
Apa, ya akhlak itu?
Mungkin ada yang tahu? ☝☝

Terkadang, jika mengetahui orang yang sudah “ngaji” atau dari taklim lalu akhlaknya terhadap orang lain itu tidak baik, kita mungkin akan mengatakan (meskipun hanya dalam hati): “iiih … Kok gitu sih. Udah ngaji kok kelakuannya kayak gitu.”

Sebaiknya yang kita lakukan adalah:
☔Pertama: Berlindung dari perbuatan demikian. Banyak berdoa kepada Allah Ta’ala agar diberi ketetapan hati dan akhlak yang baik. Diantaranya doa:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ

“Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan al-Hakim, dishahihkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi)

اللَّهُمَّ أَحْسَنْتَ خَلْقِيْ فَأَحْسِنْ خُلُقِيْ

“Ya Allah sebagaimana Engkau telah menciptakanku dengan baik maka perbaiki pula akhlakku.” (HR. Ahmad, dishahihkan al-Albani dalam al-Irwa’, 1/115)

☔Kedua: Menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh hanya mengharap wajah Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إلَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا ، لَمْ يَجِدْ عَرَفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِيْ رِيْحَهَا

“Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya itu demi mengharapkan wajah Allah, tetapi ia tidak mengharapkan kecuali bagian dari dunia maka ia tidak akan mencium bau surga. (HR. Abu Daud 2664, Ibnu Majah 252, Ahmad 2/338, Ibnu Hibban 78, al-Hakim 1/85, dan yang lainnya, dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 6159)
Mengamalkan ilmu yang kita dapat dengan sebaik-baiknya sesuai kemampuan. Jika kita belajar ilmu tentang nama dan sifat Allah, kita akan lebih berhati-hati dalam berbuat. Termasuk bagaimana akhlak kita dalam bergaul karena salah satu tanda keberkahan ilmu itu tercermin dari akhlaknya.

☔Ketiga: Bergaul dengan orang-orang shalih karena seseorang tergantung dari agama temannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدَكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 927)
Jika kita bergaul dengan teman yang shalih dan baik agamanya, semoga kita bisa baik pula.

☔Keempat: Melembutkan hati. Hati yang lembut bisa diusahakan dengan berdzikir kepada Allah Ta’ala, membaca dan mentadaburi Alquran, merenungi ciptaan-ciptaan-Nya, datang ke majelis ilmu, dan lain-lain. Karena dengan hati yang lembut membuat kita mudah menerima nasihat ketika khilaf dan lalai.

👳🏻‍♂Imam malik dan para ulama yang baik lainnya, selalu menjaga kualitas akhlaknya. Akhlak kepada Allah, Rasul, dan sesamanya. Ketinggian derajat, pencapaian ilmu yang mendalam, dan kebesaran wibawa, tidak membuat mereka merasa lebih mulia dan lebih baik baik dari orang lain.

Meletakkan akhlak di atas ilmu menjadi tanggungjawab kita semua, sebagai anak pada orangtua, sebagai santri, siswa, maupun mahasiswa pada guru-gurunya, sebagai orang yang lebih muda pada yang tua atau sebaliknya.

Meletakkan akhlak menjadi sangat penting di saat terjadi degradasi moral; Pergaulan bebas tanpa batas, tawuran massal antar pelajar, sikap anarkis sebagian pelajar saat melakukan aksi unjuk rasa, dan seabrek fenomena lainnya yang ‘memaksa’ kita untuk jauh lebih lama dalam mempelajari akhlak.

Jika akhlak seseorang itu sedikit, maka masih jauh lebih baik dari ilmuwan namun menyimpan bara pelanggaran. Berapa banyak orang-orang yang berilmu luas, bertitel akademik, namun tak dinyana ia terjerembab dalam kasus korupsi. Berapa banyak para cerdik padai, kaum intelektual, namun semakin jauh dari kebenaran (Allah).

👳‍♀Dari Jabir: Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat denganku kedudukannya di surga adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang paling aku benci adalah orang-orang yang pongah dan sombong.”

Setidaknya ada dua keutamaan bagi orang yang berakhlak.

💦Pertama, akhlak yang baik akan meningkatkan derajat. Dari Anas, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat yang tinggi di hari akhirat dan kedudukan yang mulia karena akhlaknya baik walaupun ia lemah dalam ibadah.” (HR. Thabrani)

💦Kedua, akhlak yang baik adalah ukuran keimanan. Rasulullah SAW bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya; yang lemah lembut tidak pernah menyakiti orang. Seorang manusia tidak akan mencapai hakikat iman sebelum dia mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri dan sebelum tetangganya aman dari gangguannya.”

Di sisi lain, akhlak yang buruk dapat melenyapkan amal. Banyak hadits yang menerangkan terhapusnya amal karena akhlak yang buruk.
😈Pertama, “Kedengkian memakan kebaikan sama seperti api melalap kayu bakar.”

😈Kedua, dari Ubaid, dia berkata;  ada dua orang wanita berpuasa, dan mereka sangat menderita karena lapar dan dahaga pada sore harinya. Kemudian kedua wanita itu mengutus seseorang menghadap Rasulullah SAW, untuk memintakan izin bagi keduanya agar diperbolehkan menghentikan puasa mereka.

Sesampainya utusan tersebut kepada Rasulullah SAW, beliau memberikan sebuah mangkuk kepadanya untuk diberikan kepada kedua wanita tadi, seraya memerintahkan agar kedua-duanya memuntahkan isi perutnya ke dalam mangkuk itu. Ternyata kedua wanita tersebut memuntahkan darah dan daging segar, sepenuh mangkuk tersebut, sehingga membuat orang-orang yang menyaksikannya terheran-heran.

Rasulullah SAW bersabda; “Kedua wanita ini berpuasa terhadap makanan yang dihalalkan Allah tetapi membatalkan puasanya itu dengan perbuatan yang diharamkan oleh-Nya. Mereka duduk bersantai sambil menggunjingkan orang-orang lain. Maka itulah ‘daging-daging’ mereka yang dipergunjingkan.” (HR. Ahmad).

Nasehat tersebut dari seorang ulama yaitu syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, beliau berkata,

طالب العلم : إذا لم يتحل بالأخلاق الفاضلة فإن طلبه للعلم لا فائدة فيه

“Seorang penuntut ilmu, jika tidak menghiasi diri dengan akhlak yang mulia, maka tidak ada faidah menuntut ilmunya.”

Na'udzubillaah min dzaalik.

Akhlak saat ini menjadi komoditas yang mahal. Karena manusia yang berakhlak mulia pasti akan dihargai dimanapun ia berada. Bukankah kita ingat hadist Nabi, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya,” (HR Bukhari: 5569).

Orang yang baik akhlaknya adalah lentera yang menyala benderang. Dia hangat dan menentramkan, orang-orang suka berada di dekatnya. Karena dia pasti memberi pengaruh positif bagi lingkungan sekitarnya.



Sedangkan ilmu itu adalah itu adalah gagang dari lenteranya. Kalau keduanya saling bersinergi, lentera bisa kesana kemari. Lentera dengan dengan gagang punya daya jelajah yang lebih tinggi dengan kegunaan yang lebih banyak. Bisa menyalakan sumber sumber cahaya lainnya.

Orang yang berilmu tapi tidak berakhlak baik berarti cuma lentera dengan gagang yang menyala kecil atau sama sekali tidak menyala. Hanya cukup untuk menerangi dirinya sendiri. Saking kecilnya nyala apinya bila dibuka tutupnya, matilah apinya. Tak dapat ia bagikan. Dan orang-orang tidak menerima karena ia tidak memberi manfaat. Hanya berguna bagi dirinya sendiri.

Sedangkan tanpa ilmu dan akhlak. Bagai orang berjalan tanpa lentera, hanya menabrak kesana kemari. Yang ada malah kemungkinan daya rusaknya lebih tinggi. Orang-orang berharap ia cukup diam saja ditempatnya.

Maka kita jangan tertipu oleh idiom-idiom yang beredar saat ini seperti “Bicara kasar tapi jujur lebih baik dari pada santun bicara tapi mental bejat.” Keduanya tidak benar. Siapa yang menjamin yang berbicara kasar benar-benar jujur? Lalu yang kedua adalah sifat munafik yang harus dijauhi kita semua. Ada pilihan yang lebih baik yaitu santun nan jujur.


Saya pernah membaca di sebuah buku tentang pernyataan seorang bule terhadap pentingnya akhlak. Aku lebih khawatir apabila anakku tidak bisa mengantri daripada ia sekadar tak bisa berhitung. Karena untuk mengajarinya mengantri butuh waktu yang lama dan akan lebih berguna baginya kelak di masa depan. Jika sudah demikian, apa yang bisa kita banggakan sebagai warga dari negara muslim terbesar dunia?

Karena itu akhlak  lebih tinggi dari ilmu kadang ada orang berakhlak baik tapi ilmunya tidak banyak karena dia bisa belajar melalui qudwah dari orang - orang sholeh...

Semoga kita semua bisa seperti itu.... Aamiin...

1. Imam Syafi’i adalah adalah seorang ulama besar yang banyak melakukan dialog dan pandai dalam berdebat. Sampai-sampai Harun bin Sa’id berkata: “Seandainya Syafi’i berdebat untuk mempertahankan pendapat bahwa tiang yang pada aslinya terbuat dari besi adalah terbuat dari kayu niscaya dia akan menang, karena kepandainnya dalam berdebat”.

Imam Syafi’i berkata : “Aku tidak pernah berdebat untuk mencari kemenangan”

Imam Syafi’i berkata : “Aku mampu berhujjah dengan 10 orang yang berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan seorang yang jahil, karena orang yang jahil itu tidak pernah faham landasan ilmu”

Oleh karenanya Imam Syafi’i menasehatkan  “Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi. Apabila kamu melayani, maka kamu akan susah sendiri. Dan bila kamu berteman dengannya, maka ia akan selalu menyakiti hati”

Iman Syafi’i juga menasehatkan,  “Apabila ada orang bertanya kepadaku,“jika ditantang oleh musuh, apakah engkau diam ??”
Jawabku kepadanya : “Sesungguhnya untuk menangkal pintu-pintu kejahatan itu ada kuncinya.”
“Sikap diam terhadap orang yang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan”
“Apakah kamu tidak melihat bahwa seekor singa itu ditakuti lantaran ia pendiam ?? Sedangkan seekor anjing dibuat permainan karena ia suka menggonggong ??”

Nasehat Imam Syafi’i yang lainnya  “Orang pandir mencercaku dengan kata-kata jelek, maka aku tidak ingin untuk menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah lembut, seperti kayu wangi yang dibakar malah menambah wangi”

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda: “Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” [HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Tidak ada satu kaum yang tersesat setelah mendapat petunjuk, melainkan karena mereka suka berjidal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat: “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yg suka bertengkar. (QS Az-Zuhruf [43]: 58 )” (HR. At-Tirmidzi no. 3253, Ibnu Majah dan Ahmad)

Imam Malik rahimahullah, berkata:  “Berjidal adalah menghilangkan cahaya ilmu dan mengeraskan hati, serta menyebabkan permusuhan.” (Ibnu Rajab, Fadhlu Ilmi salaf ‘alal Khalaf: 35)

2. Berhutang diantara sesama bersaudara seperti menantu berhutang pada mertua atau sebaliknya, saudara dan saudaranya atau iparnya, cucu dengan kakek atau pamanya, semua memiliki hukum yang sama dengan hutang pada yang tidak memiliki hubungan persaudaraan. Sabda Rasulullah saw.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ =رواه الترمذي وابن ماجه=

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Bersabda Rasulullah saw: “Ruh orang mati itu tergantung dengan hutangnya sampai hutang itu dilunasi untuknya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Hadits hasan menurut Tirmidzi.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِيَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ =رواه ابن ماجه=

Dari Ibnu Umar ra, ia berkata Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang mati sedang ia punya hutang satu dinar atau satu dirham, kelak dibayarlah (hutang itu) dari kebaikannya yang saat itu tidak ada dinar dan dirham. (HR. Ibnu Majah).

Ada dua kemungkinan ketika seseorang tidak membayar utangnya :

Kemungkinan orang yang berutang itu melalaikan kewajibannya padahal ia memiliki kemampuan untuk membayarnya. Jika ini yang terjadi maka ia telah melakukan kezhaliman dikarenakan penangguhan pembayarannya sedangkan utang adalah amanah yang harus ditunaikan. Didalam sebuah hadits dari Abi Dzar ra yang mengatakan,”Aku bersama Nabi saw dan tatkala aku diperlihatkan Uhud, beliau saw bersabda,”Aku tidak ingin Uhud ini dirubah dengan emas serta masih ada padaku diatas tiga dinar kecuali satu dinar yang aku simpan untuk melunasi utangku.” (HR. Bukhori) Juga sabda Rasulullah saw : “Penangguhan pembayaran hutang bagi orang yang mampu membayarnya adalah kezaliman. “ (HR. Bukhori).
Kemungkinan memang orang itu dalam keadaan sulit sehingga tidak memiliki kesanggupan untuk membayarnya.
Pada asalnya setiap orang yang memberikan utang kepada seseorang mempunyai hak untuk menagihnya pada saat batas waktu pelunasannya telah lewat sementara orang yang berutang belum juga membayarnya. Namun demikian Allah swt membuka peluang bagi orang yang mempunyai piutang untuk mendapatkan pahala dengan membuka pintu sedekah.

Terhadap orang yang tidak membayar utangnya padahal mereka memiliki kemampuan melunasinya maka si pemilik piutang bisa melakukan langkah-langkah berikut jika memang ia tetap ingin melakukan penagihan :

Mengingatkan orang yang berutang tersebut akan kewajibannya membayar utangnya.
Menasehatinya agar tidak jatuh kedalam kezhaliman.
Jika memungkinkan maka ia bisa memberikan kepadanya kesempatan kedua untuk melunasinya.
Jika memang orang itu tetap tidak mau membayar utangnya maka ia boleh mengajukannya ke pengadilan sehingga penagihannya dilakukan oleh hakim.
Adapun terhadap orang yang mengalami kesulitan atau tidak memiliki kemampuan membayar utangnya maka Allah swt menganjurkan kepadanya untuk memberikan kesempatan kepadanya hingga waktu kesanggupannya membayar meskipun jika ia mensedekahkan piutangnya itu maka itu lebih baik, sebagaimana firman Allah swt,

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٢٨٠﴾

”Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al- Baqarah : 280)

•┈┈┈◎❅❀❦🌹❦❀❅◎┈┈┈•
🌹 *Tanya Jawab :*

1⃣ TS3
Tetin
Izin bertanya🙋🏻‍♀


Apa sebenarnya faktor yang membuat orang berilmu enggan melakukan pola akhlak yang baik. Banyak orang berilmu semisal dia tau ilmu menutup aurat seorang muslimah tapi pakaiannya tdk mencerminkan seorang muslimah pun dgn akhlaknya padahal ia sudah menuntut ilmu syar'i?

🧕🏻🎤 Jawaban :
Rasulullah saw., bersabda: “Janganlah kamu mempelajari ilmu untuk tujuan berkompetisi dan menyaingi ulama, mengolok-olok orang yang bodoh dan mendapatkan simpati manusia. Barang siapa berbuat demikian, sungguh mereka kelak berada di neraka. (HR. Ibnu Majah). Maka sudah jelas bahwasanya ketika akan menuntut ilmu, maka niat ini harus kita luruskan. Tentu saja kita jauh lebih memilih akhirat sebagai orientasi dalam menuntut ilmu daripada memilih dunia yang sifatnya hanyalah fana dan sementara. Sementara akhirat bersifat kekal dan abadi, maka masihkah kita semua memilih dunia sebagai orientasi dalam menuntut ilmu?

Para kaum bijak pun pernah berkata, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya, namun tidak bertambah hidayahnya, niscaya ia bukannya semakin dekat kepada Allah namun justru semakin jauh.” Imam Al-Ghazali pun pernah berkata bahwasanya “Jika Anda mengenal tingkatan ilmu dan mengetahui hakikat ilmu akhirat, niscaya Anda akan paham bahwa sebenarnya yang menyebabkan para ulama menyibukkan diri dengan ilmu bukan semata-mata karena mereka membutuhkan ilmu tersebut, namun dikarenakan mereka membutuhkan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah”. Selanjutnya beliau menjelaskan makna nasehat kaum bijak pandai bahwa ‘kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu pun enggan kecuali harus diniatkan untuk Allah’, berarti bahwa “Ilmu itu tidak mau membuka hakekat dirinya pada kami, namun yang sampai kepada kami hanyalah lafaz-lafaznya dan definisinya”. (Ihya’ ‘Ulumuddin)

2⃣ TS1
nita_ apa hubungannya belajar adab dengan akhlak?? bisakah saling mendukung??

🧕🏻🎤 Jawaban :
Yang perlu diperhatikan oleh penuntut ilmu di zaman ini adalah adab dalam menuntut ilmu. Di zaman modern saat ini, beberapa pendidik merasa adab para murid mulai berkurang. Misalnya:

Kurang hormat dengan gurunya
Terlambat ketika menghadiri majelis ilmu
Tidak mengulangi (muraja’ah) pelajaran sebelumnya
Padahal dengan adab yang baik maka ilmu tersebut menjadi berkah. Bagaimana ingin mendapatkan keberkahan ilmu jika adabnya saja tidak diperhatikan. Ilmu tersebut mungkin tidak akan bertahan lama atau tidak akan mendapatkan berkah.
Padahal di zaman keemasannya adab menuntut ilmu sangat diperhatikan oleh para ulama. Misalnya:

Datang ke majelis ilmu sebelum pelajaran di mulai bahkan ada yang sampai menginap agar dapat tempat duduk terdepan karena majelis ilmu saat itu sangat ramai
Menghapal beberapa buku (matan/ringkasan isi) sebelum belajar ke ulama. Bahkan beberapa ulama mempersyaratkan jika ingin belajar kepadanya harus hafal dahulu. Misalnya imam Malik yang mempersyaratkan harus hafal kitab hadits yang tebal yaitu Al-Muwattha’.
Menjaga suasana belajar dengan fokus dan tidak bermain-main. Misalnya bermain gadget atau HP atau mengobrol dengan temannya.
Misalnya kisah berikut ini, dikisahkan oleh Ahmad bin Sinan mengenai majelis Abdurrahman bin Mahdi, guru Imam Ahmad, beliau berkata,

كان عبد الرحمن بن مهدي لا يتحدث في مجلسه، ولا يقوم أحد ولا يبرى فيه قلم، ولا يتبسم أحد

“Tidak ada seorangpun berbicara di majelis Abdurrahman bin Mahdi, tidak ada seorangpun yang berdiri, tidak ada seorangpun yang mengasah/meruncingkan pena, tidak ada yang tersenyum.” (Siyaru A’lamin Nubala’ 17/161, Mu’assasah Risalah, Asy-syamilah).

Imam Malik rahimahullahu mengisahkan,

قال مالك: قلت لأمي: ” أذهب، فأكتب العلم؟ “، فقالت: ” تعال، فالبس ثياب العلم “، فألبستني مسمرة، ووضعت الطويلة على رأسي، وعممتني فوقها، ثم قالت: ” اذهب، فاكتب الآن “، وكانت تقول: ” اذهب إلى ربيعة، فتعلًّمْ من أدبه قبل علمه

“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ Ibuku berkata,‘Kemarilah!, Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’.” (‘Audatul Hijaab 2/207, Muhammad Ahmad Al-Muqaddam, Dar Ibul Jauzi, Koiro, cet. Ke-1, 1426 H, Asy-Syamilah)

3⃣ TS3
Bu Erni

Bagaimana caranya agar akhlak dan ilmu bs berbanding lurus ato sejajar
Di jaman now banyak sekali org yg mengaku berilmu tp akhlak tdk baik

🧕🏻🎤 Jawaban :
Ibnu Qayyim Al-Jauzy dalam salah satu karyanya Kitab Al-Fawaid, halaman 155 berkata bahwasanya golongan manusia terbagi menjadi dua golongan. Golongan yang pertama adalah golongan yang semakin bertambah ilmunya semakin bertambah ketawadhu’annya. Pepatah mengatakan ibarat padi ia kian berisi kian merunduk. Semakin tinggi ilmunya, orang-orang ini semakin rendah hati bahkan tidak segan-segan dalam membagi ilmunya. Maka bersyukurlah jika kita termasuk di dalam golongan ini.


Golongan kedua adalah golongan yang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula kesombongannya. Justru semakin alim ia semakin meremehkan orang lain serta merendahkan mereka. Golongan inilah yang harus dihindari oleh manusia. Imam Al Ghazali dalam karyanya Kitab Ihya’ Ulumuddin bahwasanya para penuntut ilmu hendaknya membersihkan jiwa kita dari akhlak tercela. Sebab menurut beliau bahwasanya ilmu merupakan ibadah dari kalbu dan salah satu bentuk pendekatan batin kepada Allah.

Rasulullah saw., bersabda: “Janganlah kamu mempelajari ilmu untuk tujuan berkompetisi dan menyaingi ulama, mengolok-olok orang yang bodoh dan mendapatkan simpati manusia. Barang siapa berbuat demikian, sungguh mereka kelak berada di neraka. (HR. Ibnu Majah). Maka sudah jelas bahwasanya ketika akan menuntut ilmu, maka niat ini harus kita luruskan. Tentu saja kita jauh lebih memilih akhirat sebagai orientasi dalam menuntut ilmu daripada memilih dunia yang sifatnya hanyalah fana dan sementara. Sementara akhirat bersifat kekal dan abadi, maka masihkah kita semua memilih dunia sebagai orientasi dalam menuntut ilmu?

Para kaum bijak pun pernah berkata, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya, namun tidak bertambah hidayahnya, niscaya ia bukannya semakin dekat kepada Allah namun justru semakin jauh.” Imam Al-Ghazali pun pernah berkata bahwasanya “Jika Anda mengenal tingkatan ilmu dan mengetahui hakikat ilmu akhirat, niscaya Anda akan paham bahwa sebenarnya yang menyebabkan para ulama menyibukkan diri dengan ilmu bukan semata-mata karena mereka membutuhkan ilmu tersebut, namun dikarenakan mereka membutuhkan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah”. Selanjutnya beliau menjelaskan makna nasehat kaum bijak pandai bahwa ‘kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu pun enggan kecuali harus diniatkan untuk Allah’, berarti bahwa “Ilmu itu tidak mau membuka hakekat dirinya pada kami, namun yang sampai kepada kami hanyalah lafaz-lafaznya dan definisinya”. (Ihya’ ‘Ulumuddin)

Melalui beberapa penjabaran di atas cukup jelas bahwa tingginya ilmu seseorang belum tentu menjamin bahwa akhlak kita akan sebaik dan setinggi ilmu yang kita miliki. Semua itu kembali kepada orientasi dan tujuan kita dalam menuntut ilmu. Bahwasanya ilmu yang semakin tinggi justru bisa saja sutu saat mencelakakan kita, sebab kita salah meniatkannya dalam menuntutnya.

Secara ringkas, Imam Al-Ghazali menekankan bahwasanya ilmu tanpa ibadah adalah junun (gila) sedangkan amal tanpa ilmu adalah takabbur (sombong). Yang dimaksud junun adalah berjuang berdasarkan tujuan yang salah. Sedangkan takabbur berarti ia tidak mempedulikan aturan dan kaidah perjuangan dalam menuntut ilmu, sekalipun tujuan kita benar. Kedua hal tersebut sama-sama bermuara kepada akhlak yang buruk. Maka karena itulah dalam pendidikan islam bahwsanya ilmu dan akhlak merupakan dimensi yang tidak bisa dipisahkan. Hal itu merupakan basis yang disebut dengan ta’dib yaitu proses pembentukan adab pada diri para penuntut ilmu. Sehingga dengan konsep seperti ini maka diharapkan lahirnya para cendekiawan muslim yang berakhlaqul karimah. (Ihya Ulumuddin)

Jika diurutkan maka dasar dari seorang muslim adalah ilmu, kemudian bagaimana ia mampu mengamalkannya, dan puncaknya adalah ihsan yang berarti ia menyertainya dengan akhlak yang baik. Rasulullah bersabda tentang makna Ihsan, bahwa “Ihsan itu adalah ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim)

Maka begitulah pentingnya ilmu. Ia harus disertai hidayah yang senantiasa mengawalnya. Sebab tanpa hidayah, seseorang semakin jauh dari Allah SWT dan menjadi sombong pribadinya. Sebaiknya seorang ahli ilmu yang mendapatkan hidayah, maka hubungannya kepada Allah SWT semakin dekat sehingga meraih maqom dan derajat di sisi-Nya serta keridhaan dari Allah SWT.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim). Kesombongan merupakan salah satu penyakit hati yang dapat merusak akhlak manusia. Bahkan saking bencinya Allah kepada hambanya yang sombong, Rasulullah pun bersabda bahwa tidak akan masuk surga orang yang sedikit pun ada kesombongan di dalam hatinya.

Maka beruntunglah bagi manusia yang tinggi ilmunya namun baik akhlaknya. Sebab ia dijanjikan oleh Allah SWT akan surga-Nya. Kita perlu belajar kepada Ali bin Abi Thalib. Bahwsanya beliau adalah sosok yang tinggi ilmunya, namun rendah hatinya. Maka tak salah jika beliau mendapatkan julukan Baabul Ilmi. Atau pintunya dari ilmu.

4⃣ TS2
Lastri_ijin bertanya
Bagaimana menghadapi orang yang salah dan belum tau akan sesuatu tapi ngeyel dengan pendiriannya? Benarkah tindakan saya meninggalkannya walau sebenarnya hati ini ingin menjelaskan sedetailnya?

🧕🏻🎤 Jawaban :
Beberapa adab yang perlu diperhatikan adalah:

1. Mengharapkan ridha Allah Ta’ala

Seorang yang ingin menasehati hendaklah meniatkan nasehatnya semata-semata untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Karena hanya dengan maksud inilah dia berhak atas pahala dan ganjaran dari Allah Ta’ala di samping berhak untuk diterima nasehatnya. Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Artinya, “Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang itu hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka (hakikat) hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Tidak dalam rangka mempermalukan orang yang dinasehati

Seseorang yang hendak memberikan nasihat harus berusaha untuk tidak mempermalukan orang yang hendak dinasehati. Ini adalah musibah yang sering terjadi pada kebanyakan orang, saat dia memberikan nasihat dengan nada yang kasar. Cara seperti ini bisa berbuah buruk atau memperparah keadaan. Dan nasehatpun tak berbuah sebagaimana yang diharapkan.

3. Menasehati secara rahasia

Nasihat disampaikan dengan terang-terangan ketika hendak menasehati orang banyak seperti ketika menyampaikan ceramah. Namun kadangkala nasehat harus disampaikan secara rahasia kepada seseorang yang membutuhkan penyempurnaan atas kesalahannya. Dan umumnya seseorang hanya bisa menerimanya saat dia sendirian dan suasana hatinya baik. Itulah saat yang tepat untuk menasehati secara rahasia, tidak di depan publik. Sebagus apapun nasehat seseorang namun jika disampaikan di tempat yang tidak tepat dan dalam suasana hati yang sedang marah maka nasehat tersebut hanya bagaikan asap yang mengepul dan seketika menghilang tanpa bekas.

Al Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka mereka menasehatinya secara rahasia… Barangsiapa yang menasehati saudaranya berduaan saja maka itulah nasehat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77)

Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh Zhahiri menuturkan, “Jika kamu hendak memberi nasehat sampaikanlah secara rahasia bukan terang-terangan dan dengan sindiran bukan terang-terangan. Terkecuali jika bahasa sindiran tidak dipahami oleh orang yang kamu nasehati, maka berterus teranglah!” (Al Akhlaq wa As Siyar, halaman 44)

4. Menasehati dengan lembut, sopan, dan penuh kasih

Seseorang yang hendak memberikan nasehat haruslah bersikap lembut, sensitif, dan beradab di dalam menyampaikan nasehat. Sesungguhnya menerima nasehat itu diperumpamakan seperti membuka pintu. Pintu tak akan terbuka kecuali dibuka dengan kunci yang tepat. Seseorang yang hendak dinasehati adalah seorang pemilik hati yang sedang terkunci dari suatu perkara, jika perkara itu yang diperintahkan Allah maka dia tidak melaksanakannya atau jika perkara itu termasuk larangan Allah maka ia melanggarnya.

Oleh karena itu, harus ditemukan kunci untuk membuka hati yang tertutup. Tidak ada kunci yang lebih baik dan lebih tepat kecuali nasehat yang disampaikan dengan lemah lembut, diutarakan dengan beradab, dan dengan ucapan yang penuh dengan kasih sayang. Bagaimana tidak, sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

Artinya, “Setiap sikap kelembutan yang ada pada sesuatu, pasti akan menghiasinya. Dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya. (HR. Muslim)

Fir’aun adalah sosok yang paling kejam dan keras di masa Nabi Musa namun Allah tetap memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun agar menasehatinya dengan lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman,

فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا

Artinya, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut.” (QS. Ath Thaha: 44)

Saudariku… dan lihatlah tatkala nasehat dilontarkan dengan keras dan kasar maka akan banyak pintu yang tertutup karenanya. Banyak orang yang diberi nasehat justru tertutup dari pintu hidayah. Banyak kerabat dan karib yang hatinya menjauh. Banyak pahala yang terbuang begitu saja. Dan tentu banyak bantuan yang diberikan kepada setan untuk merusak persaudaraan.

5. Tidak memaksakan kehendak

Salah satu kewajiban seorang mukmin adalah menasehati saudaranya tatkala melakukan keburukan. Namun dia tidak berkewajiban untuk memaksanya mengikuti nasehatnya. Sebab, itu bukanlah bagiannya. Seorang pemberi nasehat hanyalah seseorang yang menunjukkan jalan, bukan seseorang yang memerintahkan orang lain untuk mengerjakannya. Ibnu Hazm Azh Zhahiri mengatakan: “Janganlah kamu memberi nasehat dengan mensyaratkan nasehatmu harus diterima. Jika kamu melanggar batas ini, maka kamu adalah seorang yang zhalim…” (Al Akhlaq wa As Siyar, halaman 44)

6. Mencari waktu yang tepat

Tidak setiap saat orang yang hendak dinasehati itu siap untuk menerima petuah. Adakalanya jiwanya sedang gundah, marah, sedih, atau hal lain yang membuatnya menolak nasehat tersebut. Ibnu Mas’ud pernah bertutur: “Sesungguhnya adakalanya hati bersemangat dan mudah menerima, dan adakalanya hati lesu dan mudah menolak. Maka ajaklah hati saat dia bersemangat dan mudah menerima dan tinggalkanlah saat dia malas dan mudah menolak.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih)

Jika seseorang ternyata tak bisa menasehati dengan baik maka dianjurkan untuk diam dan hal itu lebih baik karena akan lebih menjaga dari perkataan-perkataan yang akan memperburuk keadaan dan dia bisa meminta tolong temannya agar menasehati orang yang dimaksudkan. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ

Artinya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah berkata yang baik atau diam…”(HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Syarhu Al Arba’in An Nawawi memberikan beberapa faedah dari cuplikan hadits di atas yaitu wajibnya diam kecuali dalam kebaikan dan anjuran untuk menjaga lisan.

Jangan pernah putus asa untuk memohon pertolongan Allah karena pada hakekatnya Allah-lah Yang Maha Membolak-balikkan hati seseorang. Meski sekeras apapun hati seseorang namun tidak ada yang mustahil jika Allah berkehendak untuk melembutkan hatinya dan menunjukkan kepada jalan-Nya. Wallaahu Musta’an.

5⃣ TS3
Assalamualaykum warrahmatullahi wabbarokatuh.
Sy nurvi di bogor mw bertanya Umi Ustadzah..
Apakah org yg berakhlak sdh tidak bs marah?
Atau cara marah org yg berakhlak itu gimana bu ustadzah?
Syukron.🙏😊

🧕🏻🎤 Jawaban :
Dalam riwayat Abu Hurairah misalnya, Nabi mengatakan, “Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Malik).

Dalam riwayat Abu Said al-Khudri, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik orang adalah yang tidak mudah marah dan cepat meridlai, sedangkan seburuk-buruk orang adalah yang cepat marah dan lambat meridlai.” (HR. Ahmad).

Jawabannya, kemarahan Nabi itu memang disebabkan oleh beberapa hal. Namun dapat dipastikan, kesemuanya bermuara pada satu sebab, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan agama, bukan kepentingan pribadinya. Nabi perlu marah untuk memberikan penekanan bahwa hal tertentu tak boleh dilakukan umatnya. Sebagai guru seluruh manusia dan pemberi petunjuk ke jalan yang lurus, Nabi perlu marah agar mereka menjauhi segala perbuatan yang tidak elok.

Oleh karena itu, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam marah saat mendengar laporan bahwa dalam medan peperangan, Usamah bin Zaid membunuh orang yang sudah mengatakan la Ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah).

Sedang Usamah membunuhnya karena menyangka orang itu melafalkan kalam tauhid hanya untuk menyelamatkan diri. Nabi menyalahkan Usamah dan berkali-kali mengatakan, “Apakah engkau membunuhnya setelah dia mengatakan la Ilaha illallah?” (HR. al-Bukhari)

Raut wajah Nabi berubah karena marah, ketika sahabat merayu agar ia tak memotong tangan seorang wanita yang mencuri. Alasan mereka, ia adalah wanita terpandang dari klan Bani Makhzum, salah satu suku besar Quraisy. Nabi tegaskan, “Apakah layak aku memberikan pertolongan terhadap tindakan yang melanggar aturan Allah?” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Di lain waktu, Nabi melihat seorang lelaki memakai cincin emas. Melihat pelanggaran agama itu, Rasulullah marah. Ia lantas mencabut cincin lelaki itu dan melemparkannya ke tanah. “Salah seorang di antara kalian dengan sengaja menceburkan diri ke jilatan api dengan menggunakannya (cincin emas, penj) di tangannya,” sabda Nabi (HR. Muslim)

Pada kejadian lain, di pasar Madinah, terjadi perselisihan antara seorang sahabat Nabi dengan pedagang Yahudi. Perselisihan itu sampai membuat si Yahudi bersumpah, “Demi Dzat yang telah memilih Musa di antara manusia lainnya.” Ungkapan sumpah ini membuat sahabat Nabi Muhammad itu marah. Ia menampar si Yahudi. “Kamu mengatakan ‘Demi Dzat yang telah memilih Musa di antara manusia lainnya’, sedang ada Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam di tengah-tengah kita?” ujarnya.

Orang Yahudi tersebut tak terima dengan perlakuan sahabat Nabi. Ia pun bergegas datang menemui Nabi Muhammad untuk melaporkan kejadian itu. Mendengar aduan itu, Nabi Muhammad marah dan mengatakan, “Janganlah kalian saling mengunggulkan nabi yang satu dengan lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak hanya saat perintah Allah dilanggar, Nabi juga marah bila umatnya tak segera melakukan kebaikan atau menangguhkan sesuatu yang seharusnya diutamakan. Hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Jarir bin Abdullah yang mengisahkan, “Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassallam berkhutbah dan mendorong kami untuk bershadaqah. Namun orang-orang lamban sekali dalam melaksanakan dorongan itu, hingga terlihat raut kemarahan di wajah Nabi.”

Bila harus marah kepada seseorang, Nabi tak langsung menegurnya di depan umum. Nabi tak ingin menjatuhkan harga diri orang yang bersalah itu. Oleh karenanya, ketika ia melihat seseorang mengarahkan padangannya ke atas dalam shalat–dan hal itu dilarang, Nabi menegur perbuatan itu dengan bahasa yang umum. Nabi tidak menyebutkan nama orang yang melakukan hal itu, untuk menjaga perasaannya. Namun Nabi berkhutbah di depan para sahabat, kemudian menyampaikan, “Apa yang menyebabkan segolongan orang mengangkat pandangannya ke langit
 dalam shalatnya?” (HR. Bukhari)

6⃣ TS2
17_Dewi_Sragen

Ijin bertanya
Bagaimana menasihati suami perokok ?

🧕🏻🎤 Jawaban :
11 langkah membuat pasangan berhenti merokok

Langkah 1: siapkan fakta

Lakukan beberapa pengamatan dan persenjatai diri Anda dengan fakta-fakta tentang asap rokok. Bahkan jika dia tidak peduli tentang kesehatannya, Anda dapat mendapatkan perhatiannya dengan memperlihatkan risiko yang ia beri kepada Anda dan keluarga sebagai perokok pasif.

Langkah 2: simpan emosi

Jangan biarkan ini menjadi isu perdebatan antara kalian berdua. Anda tidak akan bisa membujuknya jika ia melihat percakapan Anda sebagai omelan. Suarakan keprihatinan Anda dan tunjukkan bahwa Anda sedih dengan kecanduan yang dialami pasangan Anda. Tapi, cobalah untuk tidak mengekspresikan kemarahan pada seluruh perkataan Anda.

Langkah 3: awali dengan mengurangi

Sarankan pasangan Anda untuk mengurangi jumlah rokok yang ia hirup per harinya. Hal ini dapat Anda lakukan jika ia tidak siap untuk berhenti total. Lagipula, seorang pecandu rokok akan sulit untuk berhenti, sama seperti pecandu alkohol. Jadi, biarkan ia mengurangi kuantitas rokok sedikit demi sedikit hingga ia dapat bebas dari rokok sepenuhnya.

Langkah 4: buat daftar pro vs kontra

Bantulah pasangan Anda untuk membuat daftar mengapa ia memilih untuk merokok serta manfaat dari berhenti merokok. Hal ini dapat membantu ia menjelaskan motivasinya sekaligus membantunya untuk berhenti.

Langkah 5: beri dukungan

Biarkan dia tahu bahwa meskipun ia pernah gagal dalam mencoba berhenti sebelumnya, kali ini ia akan berhasil. Perokok sering kali mencoba lebih dari satu kali sebelum ia berhasil sepenuhnya. Ingatlah untuk tidak membiarkan ia menyerah pada dirinya sendiri.

Langkah 6: tentukan deadline

Bantulah ia untuk memutuskan hari apa ia harus berhenti. Sarankan untuk memilih tanggal yang signifikan (itu bisa jadi di hari ulang tahun Anda) dan persiapkan segala hal untuk itu. Ketika pasangan Anda bisa menghabiskan bungkus rokok terakhirnya, maka Anda harus siap untuk mengalihkan pikirannya dari rokok dengan alternatif sehat. Bantu dia menyiapkan makanan ringan bergizi, atau bergabunglah di tempat gym bersama dengan pasangan Anda, sehingga Anda berdua bisa fokus pada perkembangan gaya hidup sehat.

Langkah 7: cari dukungan lain

Doronglah dia untuk bergabung dengan kelompok pendukung yang membantu mantan perokok. Jelajahi kelompok online yang dapat Anda sarankan kepada pasangan.

Langkah 8: catat!

Sarankan pasangan Anda menulis buku harian untuk membantu Anda melacak kapan ia memiliki hasrat untuk menyentuh rokok, sekaligus membantunya untuk meningkatkan kepedulian pada setiap pola, sehingga ia dapat mempersiapkan dirinya.

Langkah 9: jauhi godaan

Bantulah ia untuk mematahkan kebiasaan yang terkait dengan rokok. Sarankan ia untuk pergi ke tempat-tempat di mana merokok itu dilarang, seperti di bioskop. Habiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman yang bukan perokok bersamanya, sehingga ia terhindar dari godaan untuk merokok.

Langkah 10: gagal? Coba lagi

Teruslah mendorong dia, bahkan jika ia gagal. Anda dapat membantunya untuk mencari tahu mengapa ia gagal sekaligus membantunya untuk belajar dari itu. Desak dia untuk mencoba lagi, dan biarkan ia tahu bahwa Anda percaya ia akan sukses.

Langkah 11: tanya apa yang ia butuhkan

Jangan lupa untuk bertanya apa yang ia inginkan dari Anda untuk membantunya berhenti. Masing-masing orang bereaksi pada situasi stres dengan cara yang berbeda, jadi jangan berasumsi bahwa Anda memegang seluruh jawaban yang terbaik untuk melayani kebutuhannya.

Langkah 12: beri pujian dan imbalan

Bantulah ia menjaga moral dengan pujian dan hadiah. Pertimbangkan untuk membuat kalender pribadi untuk membantunya menandai jumlah hari ketika ia terbebas dari asap rokok. Rencanakanlah untuk memberinya imbalan jika telah memenuhi target tertentu.

Langkah 13: jangan mengkritik

Hindarilah kritikan. American Cancer Society merekomendasikan Anda untuk tidak menghakimi, menguliahi, atau menghukum seseorang yang dapat membuat perokok merasa buruk akan diri mereka sendiri.

7⃣ TS3
Lala izin bertanya ustadzah :
1. Saya memiliki saudara yg benar2 akhwat banget.. Dia terlihat sholehah sekali. Tapi dia kl ngomong suka nyakitin perasaan saudara yg lain. Setiap ngobrol soal agama dia merasa dia lah yg selalu benar & tidak menerima masukan dr saudara yg lain. Ini menyebabkan perselisihan di antara keluarga. Bagaimana cara mengatasinya?

2. Saudara saya itu menghindari riba dengan tidak meminjam uang dr bank. Dia pinjam dr kakak saya tanpa bunga. Nilainya cukup besar sampai 20.000K dan tidak dibayar2 sampai 4 tahun lamanya. Dicicil pun tidak. kl ditagih bicaranya soal agama terus. Sedangkan kakak saya sedang butuh uangnya itu. Dia punya harta benda tidak mau di jual atau digadaikan. Itu bagaimana hukumnya ustadzah?

🧕🏻🎤 Jawaban :
1. Imam Syafi’i adalah adalah seorang ulama besar yang banyak melakukan dialog dan pandai dalam berdebat. Sampai-sampai Harun bin Sa’id berkata: “Seandainya Syafi’i berdebat untuk mempertahankan pendapat bahwa tiang yang pada aslinya terbuat dari besi adalah terbuat dari kayu niscaya dia akan menang, karena kepandainnya dalam berdebat”.

Imam Syafi’i berkata : “Aku tidak pernah berdebat untuk mencari kemenangan”

Imam Syafi’i berkata : “Aku mampu berhujjah dengan 10 orang yang berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan seorang yang jahil, karena orang yang jahil itu tidak pernah faham landasan ilmu”

Oleh karenanya Imam Syafi’i menasehatkan  “Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi. Apabila kamu melayani, maka kamu akan susah sendiri. Dan bila kamu berteman dengannya, maka ia akan selalu menyakiti hati”

Iman Syafi’i juga menasehatkan,  “Apabila ada orang bertanya kepadaku,“jika ditantang oleh musuh, apakah engkau diam ??”
Jawabku kepadanya : “Sesungguhnya untuk menangkal pintu-pintu kejahatan itu ada kuncinya.”
“Sikap diam terhadap orang yang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan”
“Apakah kamu tidak melihat bahwa seekor singa itu ditakuti lantaran ia pendiam ?? Sedangkan seekor anjing dibuat permainan karena ia suka menggonggong ??”

Nasehat Imam Syafi’i yang lainnya  “Orang pandir mencercaku dengan kata-kata jelek, maka aku tidak ingin untuk menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah lembut, seperti kayu wangi yang dibakar malah menambah wangi”

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda: “Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” [HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Tidak ada satu kaum yang tersesat setelah mendapat petunjuk, melainkan karena mereka suka berjidal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat: “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yg suka bertengkar. (QS Az-Zuhruf [43]: 58 )” (HR. At-Tirmidzi no. 3253, Ibnu Majah dan Ahmad)

Imam Malik rahimahullah, berkata:  “Berjidal adalah menghilangkan cahaya ilmu dan mengeraskan hati, serta menyebabkan permusuhan.” (Ibnu Rajab, Fadhlu Ilmi salaf ‘alal Khalaf: 35)

2. Berhutang diantara sesama bersaudara seperti menantu berhutang pada mertua atau sebaliknya, saudara dan saudaranya atau iparnya, cucu dengan kakek atau pamanya, semua memiliki hukum yang sama dengan hutang pada yang tidak memiliki hubungan persaudaraan. Sabda Rasulullah saw.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ =رواه الترمذي وابن ماجه=

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Bersabda Rasulullah saw: “Ruh orang mati itu tergantung dengan hutangnya sampai hutang itu dilunasi untuknya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Hadits hasan menurut Tirmidzi.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِيَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ =رواه ابن ماجه=

Dari Ibnu Umar ra, ia berkata Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang mati sedang ia punya hutang satu dinar atau satu dirham, kelak dibayarlah (hutang itu) dari kebaikannya yang saat itu tidak ada dinar dan dirham. (HR. Ibnu Majah).

Ada dua kemungkinan ketika seseorang tidak membayar utangnya :

Kemungkinan orang yang berutang itu melalaikan kewajibannya padahal ia memiliki kemampuan untuk membayarnya. Jika ini yang terjadi maka ia telah melakukan kezhaliman dikarenakan penangguhan pembayarannya sedangkan utang adalah amanah yang harus ditunaikan. Didalam sebuah hadits dari Abi Dzar ra yang mengatakan,”Aku bersama Nabi saw dan tatkala aku diperlihatkan Uhud, beliau saw bersabda,”Aku tidak ingin Uhud ini dirubah dengan emas serta masih ada padaku diatas tiga dinar kecuali satu dinar yang aku simpan untuk melunasi utangku.” (HR. Bukhori) Juga sabda Rasulullah saw : “Penangguhan pembayaran hutang bagi orang yang mampu membayarnya adalah kezaliman. “ (HR. Bukhori).
Kemungkinan memang orang itu dalam keadaan sulit sehingga tidak memiliki kesanggupan untuk membayarnya.
Pada asalnya setiap orang yang memberikan utang kepada seseorang mempunyai hak untuk menagihnya pada saat batas waktu pelunasannya telah lewat sementara orang yang berutang belum juga membayarnya. Namun demikian Allah swt membuka peluang bagi orang yang mempunyai piutang untuk mendapatkan pahala dengan membuka pintu sedekah.

Terhadap orang yang tidak membayar utangnya padahal mereka memiliki kemampuan melunasinya maka si pemilik piutang bisa melakukan langkah-langkah berikut jika memang ia tetap ingin melakukan penagihan :

Mengingatkan orang yang berutang tersebut akan kewajibannya membayar utangnya.
Menasehatinya agar tidak jatuh kedalam kezhaliman.
Jika memungkinkan maka ia bisa memberikan kepadanya kesempatan kedua untuk melunasinya.
Jika memang orang itu tetap tidak mau membayar utangnya maka ia boleh mengajukannya ke pengadilan sehingga penagihannya dilakukan oleh hakim.
Adapun terhadap orang yang mengalami kesulitan atau tidak memiliki kemampuan membayar utangnya maka Allah swt menganjurkan kepadanya untuk memberikan kesempatan kepadanya hingga waktu kesanggupannya membayar meskipun jika ia mensedekahkan piutangnya itu maka itu lebih baik, sebagaimana firman Allah swt,

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٢٨٠﴾

”Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqoroh : 280)

•┈┈┈◎❅❀❦🌹❦❀❅◎┈┈┈•

🌹 *Clossing statement :*

Akhlak yang baik yang harus kita utamakan dibanding ilmu karena dengan akhlak yang baik insyaa allah ilmu akan mudah kita gapai dengan keridhaan Allah swt. Karena itulah sekarang kita harus lebih tingkatkan lagi akhlak kita agar ilmu mudah kita gapai.
🌹

Jazakillah khair mba Didah yang telah menemani saya dalam kajian malam ini... 😘💝💐

Jazakunnallah khairon atas partisipasi dan peran aktif para sahabat telaga surga dalam kajian malam ini... 💐😘💝

Akhirul kalam wabillahi taufiq walhidayah
Wassalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh.

•┈┈┈◎❅❀❦🌹❦❀❅◎┈┈┈•

🎤 : Sholcan *Didah*
✍🏼 : Sholcan *Arni*
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
WAG :
1. Telaga Surga 1,2&3
2. Telaga Surga Junior
FB : Telaga Surga
IG : Telaga_Surga
Youtube : Telaga Surga
https://www.youtube.com/channel/UCNtL_tIUaF10G8OTR67jlHA
Blog : http://telagasurga17.blogspot.co.id/

*Silahkan reshare tanpa mengubah dan menghilangkan sumbernya.*
〰〰〰〰〰〰〰🦋

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Thibbun Nabawi

8 Ciri-Ciri Ayah Yang Hebat

Qowiyul Azam