Menemukan Kedewasaan Dalam Berpikir
📿 *NOTULEN KAJIAN ONLINE TELAGA SURGA*
📆 Selasa, 21 November 2017
⏰ 19.30 s/d selesai
📚 *MENEMUKAN KEDEWASAAN DALAM BERPIKIR*
👳🏼♂*Ustadz Mohammad Rozi*
💞 *Materi* 💞
Berikut tulisan singkat yang butuh dilanjutkan.... yah, memang perlu didiskusikan:
“Menua” Selagi Masih Muda, Mungkinkah?
Oleh Mohammad Rozi
Ada sebuah kisah klasik tentang seorang lelaki tua yang terkenal bijaksana. Diceritakan, dari sebuah perbukitan tinggi, seorang lelaki tua bijaksana kerap mengunjungi desa-desa di kaki bukit. Yang dilakukannya, mungkin bagi banyak orang, sangat sederhan: menghibur warga desa. Ia kerap memeragakan kemampuannya menebak sesuatu yang tersembunyi, baik yang dibalik sesuatu seperti dalam kantong atau bahkan dalam pikiran seseorang.
Seorang anak belia berniat iseng untuk mengusik kemampuannya. Ia berencana menangkap seekor belalang. Nanti, manakala ia bertemu dengan si bapak tua, akan mempertanyakan apa yang ada dalam genggamannya. Jika ternyata Pak Tua tahu jawabannya, ia akan menyuruh menebak berikutnya: si belalang dalam keadaan hidup atau mati. Jika pak tua menjawab hidup, ia akan merematnya. Sebaliknya, jika pak tua menjawab mati, ia akan membiarkannya hidup.
Demikianlah, sampai suatu hari Pak Tua Bijaksana melewati desanya. Iapun menangkap seekor belalang dan menemui si bapak tua. Ia bertanya: “Tahukan Tuan apa yang ada dalam genggaman saya?”
“Belalang…” jawab si bapak tua.
“Benar…. Tetapi, hidup atau matikah dia?”
Pak tua langsung menatap sorot mata si belia, dan kemudian berkata pelan: “Hai anak muda…., hidup dan mati belalang itu kini di tanganmu. Terserah akan kau apakan ia. Tapi demikian juga hidupmu…”
“Saatnya Menua”
Karakter utama kisah di atas secara eksplisit menyebut kata “tua” untuk memudahkan kita berimajinasi tentang peristiwanya. Yang tidak tampak dalam cerita adalah, berapa banyak orang tua di desa-desa itu yang sebenarnya boleh disebut “tua”. Tentulah amat banyak. Namun karakter pak tua butuh disebut karena akan dilekati dengan sifat yang melekat padanya: arif atau bijaksana, mempunyai kemampuan lebih (yang mungkin banyak orang berumur tua di desa-desa itu tidak memilikinya).
Dalam ungkapan Jawa kata “menua” sama dengan kata “nuwo” yang berarti menjadi tua. Dari pada bermakna umur yang panjang, kata ini sebenarnya lebih bermakna “bagaimana sejatinya seseorang menjadi lebih dewasa dan bijaksana”. Dua kata terakhir ini sendiri sebenarnya dua kata yang sepadan. Jika bukan “dewasa” yang menyifati kata “bijaksana”, bisa pula “bijaksana” menjadi tanda bahwa seseorang telah mencapai tingkat kedewasaan.
Ketika seseorang itu “nuwo” atau “nuwani”, biasanya orang-orang di sekitarnya cenderung mendengar kata-katanya. Satu ciri khas yang setiap orang akan merasakan bahwa seseorang itu mencapai kualitas -atau katakanlah maqam- seperti ini: orang merasa nyaman dengan keberadaannya. Seperti seorang anak kecil yang membutuhkan naungan ayah atau ibunya, mereka menganggap orang yang nuwo seperti orang tuanya yang memberikan ketenangan. Mereka tak segan-segan meminta pendapat, nasehat, bahkan bimbingan hidup.
Dari sini, tulisan ini ingin saya belokkan pada pentingnya suatu karakter yang memiliki kualitas nuwo. Kualitas ini tidak mesti menunggu kita berumur di atas lima puluh atau enam puluh tahun. Ketika pemuda 35 tahun bernama Muhammad -shalalLahu ‘alaihi wasallam- mendamaikan kabilah-kabilah yang sedang di ujung pertumpahan darah di depan Ka’bah, dapat dilihat bahwa saat itu beliau sedang memainkan peran sebagai orang yang dituakan, didengar kata-katanya, dan sedang diharap saran terbaiknya untuk mengatasi situasi yang amat pelik.
Setiap orang saat itu merasa yakin bahwa setiap keputusan yang akan diambil oleh pemuda terhormat nan terpercaya itu akan melegakan semua pihak. Tidak diragukan lagi, apa yang kemudian dilakukan oleh beliau sudah kita ketahui kisahnya.
Apa jadinya ketika dalam situasi kritis itu tidak muncul sosok pemuda yang dalam hitungan tak sampai lima tahun mengemban amanah kerasulan?
Mari kita tarik pertanyaan ini untuk kita reflesikan dalam situasi sehari-hari yang kita hadapi. Bagaimana sikap kita menghadapi situasi yang membutuhkan sikap penuh kedewasaan kita. Dalam pergaulan kita, hubungan kita dengan saudara dan kerabat kita, tempat kerja, lingkungan masjid, atau bahkan dalam rumah tangga kita. Padahal di sinilah kita menjalani detik demi detik hidup kita yang bermakna penting buat kehidupan masa depan kita hingga akherat.
Begitu pentingnya kualitas ini untuk segera kita capai, dan untuk itu kita benar-benar tak perlu menunggu dua puluh tahun lagi. Kita dapat meraihnya saat ini, selagi muda. Ada yang 20, 25, 30 atau 35 tahun. Bahkan di usia belasan, boleh saja seorang anak memenangkan dirinya menggapai pribadi yang matang.
Sekadar contoh: cobalah kita kalimat-kalimat yang kita posting di setiap akun sosmed kita. Identifikasi apakah setiap kata yang kita lontarkan ternyata menyebalkan, ataukah memberikan keteduhan, kata yang penuh isi dan berbobot, sehingga setiap yang membacanya ingin menancapkan dalam pikirannya?
Birmingham, 21.11.17
💞 *Tanya Jawab*💞
1. Atiin
Ustadz, bagaimana untuk bisa 'nuwani'?
🌹jawab:
Ini soal memilih stelan cara berpikir kok... kelemahan kita adalah lemahnya otokritik terhadap diri sendiri. betapa kita lebih sering melihat orang lain, terlebih dengan segala kekurangan. kalaupun melihat kelebihannya, bukan dengan cara melihat yang positif. contoh: begitu kita melihat diri kita, katakanlah kita pojokkan diri kita di suatu sudut ruang, kita adili dia, maka akan terlihat segala kekurangan. oke... ternyata kita mempunyai kekurangan. maka ketika kita melihat kekurangan orang lain, apakah ini dalam konteks dakwah atau menyampaikan nasehat, maka kata-kata kita akan keluar dengan kesadaran untuk mengerti bahwa kita pun mempunyai kekurangan dalam hal lain. dengan begitu kita bisa bersikap lebih baik terhadap orang lain. ini membuat orang lain tidak akan merasa tertekan dengan diri kita. bahkan mungkin menemukan ketenangan.
kata orang Jawa, wong tuwo kuwi sing jembar atine.
2. Erny
1.Bagaimana menumbuhkan kedewasaan berfikir yang logis dan sistematis karena terkadang adanya hasil pikiran yang masih mentah atau kekanak-kanakan.
2.Apakah setiap kata dan posting kita spt di sosmed bisa menilai kedewasaan berfikir kita ? caranya gimana pak ustadz
🌹jawab:
1. berpikir dewasa adalah berpikir yang mengerti..... yaitu mengerti bahwa dunia itu begitu luas. demikian pula rahmat Allah, kasih sayang-Nya, begitu luasnya. Kalau sikap mengerti ini kita pegangi dalam menghadapi setiap masalah, maka kita tidak akan terburu-buru dalam menentukan kesimpulan. kita cenderung mengambil jarak, melihat kemungkinan semua faktor, akal kita lebih leluasa untuk berpikir sesuai kaidah-kaidah berpikir logis. barulah ketika kita yakin dengan suatu kesimpulan kita baru menentukan setiap langkah yang masuk akal. hal-hal seperti ini sebenarnya tidak membutuhkan sekolah. hanya kemauan untuk sesekali melangkah ke belakang. contoh: biasanya ini dihadapi oleh bapak-bapak yang menghadapi kepanikan istri ketika panik melihat tangan anaknya kejepit pintu. jika saja bapaknya ikut panik, maka situasi tentu menjadi runyam. lain lagi jika sang bapak berusaha lebih tenang. melihat benar-benar apa yang terjadi, memastikan kondisi jemari anak, kemudian memutuskan apa yang perlu dilakukan.
2. sangat bisa. kita akan dengan mudah kok melihat, seseorang ketika memosting tulisan itu sepenuhnya dari berpikir jernih atau sekadar lontaran pernyataan emosional. kalimat itu akan mudah dirasakan dari strukturnya, apakah itu kalimat yang datar, ataukah ber-tone, terkandung muatan emosi. kadang saya rasakan, aplikasi sosmed yang membutuhkan banyak emoji terkadang menumpulkan kepekaan kita terhadap apa yang saya sebut "rasa kalimat".
yah... kalimat tak sekadar dapat dibaca. tetapi juga mudah sekali dirasakan.
saya ingat dulu pas jaman SMA. saat itu semangat dakwah dari kampus menular hingga ke kelas-kelas kami di sekolah. jilbab sedang dalam perjuangan memperoleh izin diperkenankan masuk sekolah. ada seorang kakak mahasiswa, mungkin karena semangat dakwahnya yang kenceng, melihat seorang anak kecil makan menggunakan tangan kiri, langsung terlontar dari mulutnya: .... itu dosa...! seakan-akan tidak ada prasyarat bahwa seseorang itu mesti tahu terlebih dahulu apa itu dosa, apa itu pahala. seolah-olah pula untuk tertanamnya suatu perilaku yang baik, diperlukan kata-kata vonis "dosa" untuk sesuatu yang dianggap tidak boleh dilakukan. nah... cara seperti ini, meskipun krn semangat yang tinggi, tidak lantas membuat seseorang menjadi lebih mengerti bagaimana situasi yang dihadapi oleh si anak. ini sekadar contoh.
3. Kitty
Bagaimana melatih anak/siswa tuk bersikap dewasa?
🌹jawab:
Sebenanrnya anak adalah pribadi yang paling siap menjadi pribadi yang dewasa. pertama, anak adalah masa emas di mana mereka sedang menjalani proses belajar. kedua, dibanding pendahulu mereka yang sudah di kisaran dua puluh tahun ke atas, karena dalam masa mencari, mereka cenderung lebih tidak egois atau selfish, bahkan cenderung menerima setiap masukan. tinggal bagaimana cara melatihnya.
pertama, adalah dengan kesabaran. sebagai orang yang lebih tua, mungkin posisi kita guru atau orang tua langsung, harus memberi ruang yang lebih luas kepada mereka ketika menghadapi masalah. kesabaran ini penting, karena tanpa ini, kita akan cenderung mengedepankan apa yang menurut kita paling baik, dari pada apa yang paling baik menurut si anak.
kedua, menghadapkan anak pada kesediaan menerima resiko dari setiap keputusan yang mereka pilih. penerimaan terhadap resiko ini akan menempa mental mereka. biarkan mereka tahu bahwa pahit itu tidak selamanya buruk. mengapa banyak sekali obat-obatan, baik yang alami ataupun buatan, rasanya tidak enak, itu adalah cara Allah mengasihi manusia agar menjadi lebih kuat.
ketiga, mengajak anak sering-sering melakukan refleksi terhadap pengalaman mereka, baik di sekolah, lingkungan pergaulan. proses refleksi ini akan akan mengajarkan kepada keluasan makna dari setiap peristiwa. bahkan untuk satu pengalaman saja, biarkan anak menemukan makna lebih dari satu. misalnya, pulang sekolah terpeleset di jalan. ajaklah anak menceritakan apa yang dia alami. tuntunlah dia agar menemukan mengapa sampai terpeleset jatuh (ini sudah satu makna), apakah ada akibat lain dari pengalaman terpeleset (makna berikutnya), dst.
💞 *Closing Statement* 💞
~~~~~~~
〰〰〰〰〰〰〰🦋
🎤 : Sholcan : *Erny*
✍🏼 : Sholcan : *Arita*
🌹🐝
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
WAG :
1. Telaga Surga 1 & 2
2. Telaga Surga Junior
FB : Telaga Surga
IG : Telaga_Surga
Youtube : Telaga Surga
Blog : http://telagasurga17.blogspot.co.id
📆 Selasa, 21 November 2017
⏰ 19.30 s/d selesai
📚 *MENEMUKAN KEDEWASAAN DALAM BERPIKIR*
👳🏼♂*Ustadz Mohammad Rozi*
💞 *Materi* 💞
Berikut tulisan singkat yang butuh dilanjutkan.... yah, memang perlu didiskusikan:
“Menua” Selagi Masih Muda, Mungkinkah?
Oleh Mohammad Rozi
Ada sebuah kisah klasik tentang seorang lelaki tua yang terkenal bijaksana. Diceritakan, dari sebuah perbukitan tinggi, seorang lelaki tua bijaksana kerap mengunjungi desa-desa di kaki bukit. Yang dilakukannya, mungkin bagi banyak orang, sangat sederhan: menghibur warga desa. Ia kerap memeragakan kemampuannya menebak sesuatu yang tersembunyi, baik yang dibalik sesuatu seperti dalam kantong atau bahkan dalam pikiran seseorang.
Seorang anak belia berniat iseng untuk mengusik kemampuannya. Ia berencana menangkap seekor belalang. Nanti, manakala ia bertemu dengan si bapak tua, akan mempertanyakan apa yang ada dalam genggamannya. Jika ternyata Pak Tua tahu jawabannya, ia akan menyuruh menebak berikutnya: si belalang dalam keadaan hidup atau mati. Jika pak tua menjawab hidup, ia akan merematnya. Sebaliknya, jika pak tua menjawab mati, ia akan membiarkannya hidup.
Demikianlah, sampai suatu hari Pak Tua Bijaksana melewati desanya. Iapun menangkap seekor belalang dan menemui si bapak tua. Ia bertanya: “Tahukan Tuan apa yang ada dalam genggaman saya?”
“Belalang…” jawab si bapak tua.
“Benar…. Tetapi, hidup atau matikah dia?”
Pak tua langsung menatap sorot mata si belia, dan kemudian berkata pelan: “Hai anak muda…., hidup dan mati belalang itu kini di tanganmu. Terserah akan kau apakan ia. Tapi demikian juga hidupmu…”
“Saatnya Menua”
Karakter utama kisah di atas secara eksplisit menyebut kata “tua” untuk memudahkan kita berimajinasi tentang peristiwanya. Yang tidak tampak dalam cerita adalah, berapa banyak orang tua di desa-desa itu yang sebenarnya boleh disebut “tua”. Tentulah amat banyak. Namun karakter pak tua butuh disebut karena akan dilekati dengan sifat yang melekat padanya: arif atau bijaksana, mempunyai kemampuan lebih (yang mungkin banyak orang berumur tua di desa-desa itu tidak memilikinya).
Dalam ungkapan Jawa kata “menua” sama dengan kata “nuwo” yang berarti menjadi tua. Dari pada bermakna umur yang panjang, kata ini sebenarnya lebih bermakna “bagaimana sejatinya seseorang menjadi lebih dewasa dan bijaksana”. Dua kata terakhir ini sendiri sebenarnya dua kata yang sepadan. Jika bukan “dewasa” yang menyifati kata “bijaksana”, bisa pula “bijaksana” menjadi tanda bahwa seseorang telah mencapai tingkat kedewasaan.
Ketika seseorang itu “nuwo” atau “nuwani”, biasanya orang-orang di sekitarnya cenderung mendengar kata-katanya. Satu ciri khas yang setiap orang akan merasakan bahwa seseorang itu mencapai kualitas -atau katakanlah maqam- seperti ini: orang merasa nyaman dengan keberadaannya. Seperti seorang anak kecil yang membutuhkan naungan ayah atau ibunya, mereka menganggap orang yang nuwo seperti orang tuanya yang memberikan ketenangan. Mereka tak segan-segan meminta pendapat, nasehat, bahkan bimbingan hidup.
Dari sini, tulisan ini ingin saya belokkan pada pentingnya suatu karakter yang memiliki kualitas nuwo. Kualitas ini tidak mesti menunggu kita berumur di atas lima puluh atau enam puluh tahun. Ketika pemuda 35 tahun bernama Muhammad -shalalLahu ‘alaihi wasallam- mendamaikan kabilah-kabilah yang sedang di ujung pertumpahan darah di depan Ka’bah, dapat dilihat bahwa saat itu beliau sedang memainkan peran sebagai orang yang dituakan, didengar kata-katanya, dan sedang diharap saran terbaiknya untuk mengatasi situasi yang amat pelik.
Setiap orang saat itu merasa yakin bahwa setiap keputusan yang akan diambil oleh pemuda terhormat nan terpercaya itu akan melegakan semua pihak. Tidak diragukan lagi, apa yang kemudian dilakukan oleh beliau sudah kita ketahui kisahnya.
Apa jadinya ketika dalam situasi kritis itu tidak muncul sosok pemuda yang dalam hitungan tak sampai lima tahun mengemban amanah kerasulan?
Mari kita tarik pertanyaan ini untuk kita reflesikan dalam situasi sehari-hari yang kita hadapi. Bagaimana sikap kita menghadapi situasi yang membutuhkan sikap penuh kedewasaan kita. Dalam pergaulan kita, hubungan kita dengan saudara dan kerabat kita, tempat kerja, lingkungan masjid, atau bahkan dalam rumah tangga kita. Padahal di sinilah kita menjalani detik demi detik hidup kita yang bermakna penting buat kehidupan masa depan kita hingga akherat.
Begitu pentingnya kualitas ini untuk segera kita capai, dan untuk itu kita benar-benar tak perlu menunggu dua puluh tahun lagi. Kita dapat meraihnya saat ini, selagi muda. Ada yang 20, 25, 30 atau 35 tahun. Bahkan di usia belasan, boleh saja seorang anak memenangkan dirinya menggapai pribadi yang matang.
Sekadar contoh: cobalah kita kalimat-kalimat yang kita posting di setiap akun sosmed kita. Identifikasi apakah setiap kata yang kita lontarkan ternyata menyebalkan, ataukah memberikan keteduhan, kata yang penuh isi dan berbobot, sehingga setiap yang membacanya ingin menancapkan dalam pikirannya?
Birmingham, 21.11.17
💞 *Tanya Jawab*💞
1. Atiin
Ustadz, bagaimana untuk bisa 'nuwani'?
🌹jawab:
Ini soal memilih stelan cara berpikir kok... kelemahan kita adalah lemahnya otokritik terhadap diri sendiri. betapa kita lebih sering melihat orang lain, terlebih dengan segala kekurangan. kalaupun melihat kelebihannya, bukan dengan cara melihat yang positif. contoh: begitu kita melihat diri kita, katakanlah kita pojokkan diri kita di suatu sudut ruang, kita adili dia, maka akan terlihat segala kekurangan. oke... ternyata kita mempunyai kekurangan. maka ketika kita melihat kekurangan orang lain, apakah ini dalam konteks dakwah atau menyampaikan nasehat, maka kata-kata kita akan keluar dengan kesadaran untuk mengerti bahwa kita pun mempunyai kekurangan dalam hal lain. dengan begitu kita bisa bersikap lebih baik terhadap orang lain. ini membuat orang lain tidak akan merasa tertekan dengan diri kita. bahkan mungkin menemukan ketenangan.
kata orang Jawa, wong tuwo kuwi sing jembar atine.
2. Erny
1.Bagaimana menumbuhkan kedewasaan berfikir yang logis dan sistematis karena terkadang adanya hasil pikiran yang masih mentah atau kekanak-kanakan.
2.Apakah setiap kata dan posting kita spt di sosmed bisa menilai kedewasaan berfikir kita ? caranya gimana pak ustadz
🌹jawab:
1. berpikir dewasa adalah berpikir yang mengerti..... yaitu mengerti bahwa dunia itu begitu luas. demikian pula rahmat Allah, kasih sayang-Nya, begitu luasnya. Kalau sikap mengerti ini kita pegangi dalam menghadapi setiap masalah, maka kita tidak akan terburu-buru dalam menentukan kesimpulan. kita cenderung mengambil jarak, melihat kemungkinan semua faktor, akal kita lebih leluasa untuk berpikir sesuai kaidah-kaidah berpikir logis. barulah ketika kita yakin dengan suatu kesimpulan kita baru menentukan setiap langkah yang masuk akal. hal-hal seperti ini sebenarnya tidak membutuhkan sekolah. hanya kemauan untuk sesekali melangkah ke belakang. contoh: biasanya ini dihadapi oleh bapak-bapak yang menghadapi kepanikan istri ketika panik melihat tangan anaknya kejepit pintu. jika saja bapaknya ikut panik, maka situasi tentu menjadi runyam. lain lagi jika sang bapak berusaha lebih tenang. melihat benar-benar apa yang terjadi, memastikan kondisi jemari anak, kemudian memutuskan apa yang perlu dilakukan.
2. sangat bisa. kita akan dengan mudah kok melihat, seseorang ketika memosting tulisan itu sepenuhnya dari berpikir jernih atau sekadar lontaran pernyataan emosional. kalimat itu akan mudah dirasakan dari strukturnya, apakah itu kalimat yang datar, ataukah ber-tone, terkandung muatan emosi. kadang saya rasakan, aplikasi sosmed yang membutuhkan banyak emoji terkadang menumpulkan kepekaan kita terhadap apa yang saya sebut "rasa kalimat".
yah... kalimat tak sekadar dapat dibaca. tetapi juga mudah sekali dirasakan.
saya ingat dulu pas jaman SMA. saat itu semangat dakwah dari kampus menular hingga ke kelas-kelas kami di sekolah. jilbab sedang dalam perjuangan memperoleh izin diperkenankan masuk sekolah. ada seorang kakak mahasiswa, mungkin karena semangat dakwahnya yang kenceng, melihat seorang anak kecil makan menggunakan tangan kiri, langsung terlontar dari mulutnya: .... itu dosa...! seakan-akan tidak ada prasyarat bahwa seseorang itu mesti tahu terlebih dahulu apa itu dosa, apa itu pahala. seolah-olah pula untuk tertanamnya suatu perilaku yang baik, diperlukan kata-kata vonis "dosa" untuk sesuatu yang dianggap tidak boleh dilakukan. nah... cara seperti ini, meskipun krn semangat yang tinggi, tidak lantas membuat seseorang menjadi lebih mengerti bagaimana situasi yang dihadapi oleh si anak. ini sekadar contoh.
3. Kitty
Bagaimana melatih anak/siswa tuk bersikap dewasa?
🌹jawab:
Sebenanrnya anak adalah pribadi yang paling siap menjadi pribadi yang dewasa. pertama, anak adalah masa emas di mana mereka sedang menjalani proses belajar. kedua, dibanding pendahulu mereka yang sudah di kisaran dua puluh tahun ke atas, karena dalam masa mencari, mereka cenderung lebih tidak egois atau selfish, bahkan cenderung menerima setiap masukan. tinggal bagaimana cara melatihnya.
pertama, adalah dengan kesabaran. sebagai orang yang lebih tua, mungkin posisi kita guru atau orang tua langsung, harus memberi ruang yang lebih luas kepada mereka ketika menghadapi masalah. kesabaran ini penting, karena tanpa ini, kita akan cenderung mengedepankan apa yang menurut kita paling baik, dari pada apa yang paling baik menurut si anak.
kedua, menghadapkan anak pada kesediaan menerima resiko dari setiap keputusan yang mereka pilih. penerimaan terhadap resiko ini akan menempa mental mereka. biarkan mereka tahu bahwa pahit itu tidak selamanya buruk. mengapa banyak sekali obat-obatan, baik yang alami ataupun buatan, rasanya tidak enak, itu adalah cara Allah mengasihi manusia agar menjadi lebih kuat.
ketiga, mengajak anak sering-sering melakukan refleksi terhadap pengalaman mereka, baik di sekolah, lingkungan pergaulan. proses refleksi ini akan akan mengajarkan kepada keluasan makna dari setiap peristiwa. bahkan untuk satu pengalaman saja, biarkan anak menemukan makna lebih dari satu. misalnya, pulang sekolah terpeleset di jalan. ajaklah anak menceritakan apa yang dia alami. tuntunlah dia agar menemukan mengapa sampai terpeleset jatuh (ini sudah satu makna), apakah ada akibat lain dari pengalaman terpeleset (makna berikutnya), dst.
💞 *Closing Statement* 💞
~~~~~~~
〰〰〰〰〰〰〰🦋
🎤 : Sholcan : *Erny*
✍🏼 : Sholcan : *Arita*
🌹🐝
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
WAG :
1. Telaga Surga 1 & 2
2. Telaga Surga Junior
FB : Telaga Surga
IG : Telaga_Surga
Youtube : Telaga Surga
Blog : http://telagasurga17.blogspot.co.id
Komentar
Posting Komentar