Pilar-Pilar Syar'i Dalam Wirausaha
✍πΌ *NOTULENSI KAJIAN ONLINE*πΏ
*GROUP TELAGA SURGA*
π : Senin, 09 Juli 2018
⏰ : 19.30 wib sd selesai
π *"PILAR-PILAR SYAR'I DALAM WIRAUSAHA"*
π³ *USTADZ MUH. ROZY*
π
*Ψ¨ΩΩΩΨ³Ω Ψ§ΩΩّΩ Ψ§ΩΨ±ّΨΩ Ω Ψ§ΩΨ±ّΨΩΩ *
*Pilar-pilar Syar'i dalam Wirausaha*
Entah mengapa, ketika disodori tema ini, terutama diksi "pilar-pilar", yang terpikir oleh saya bukannya terkait "manajemen yang syar'i", "kecukupan modal", "strategi pasar", atau bentuk-bentuk akad muamalat seperti musyarakah, mudharabah, dll. Yang justru terpikir oleh saya adalah nilai-nilai dasar dalam bermu'amalah yang sesungguhnya ini bernilai prinsipil. Maka, fokus pada tema, inilah beberapa prinsip dasar yang akan menyangga keberlangsungan suatu bentuk usaha mandiri.
Selalu, awalnya dari niat
Setiap amal tergantung dari niatnya. Demikian pula suatu amal semacam wiraniaga atau wirausaha, amal ini akan memperoleh balasan-balasan kebaikan dan keberkahan dari Allah tergantung dari niatnya. Wirausaha itu seakan-akan amalan duniawi, namun jika niatnya benar, maka ia bukan hanya menjadi amalan duniawi semata, bahkan buah keuntungannya akan dapat berlipat-lipat hingga ke surga kelak. Karena ada yang berkesebalikan, ada amalan tampaknya sebuah amal akherat, namun karena niatnya duniawi, bekas kebaikannya tidak akan dirasakan selama di dunia, apatah lagi di akherat.
Lalu, niat seperti apa yang menjadikan suatu wirausaha dapat bernilai akherat. Ialah, hendaknya dalam diri seorang yang sedang akan menjalankan suatu wirausaha, tertanam kesadaran dalam dirinya, bahwa apa yang dilakukannya semata-mata karena Allah. Bahwa kepada setiap hamba, Allah telah mengamanahkan kepada mereka untuk menjadi khalifah yang memakmurkan kehidupan di atas bumi.
Niat yang benar dalam wirausaha adalah melayani kehidupan, bukan semata-mata kebutuhan manusia. Karena memang inilah amanah dari Allah.
Berwirausaha, seharusnya berpijak dari kesadaran ini. Karena dari kesadaran niat inilah, seseorang dapat terhindar dari kesia-siaan amal shaleh bernama perdagangan.
Yang jelas pasti harus dihindari oleh setiap pribadi yang terjun dalam dunia wirausaha adalah niatan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Niatan ini sendiri sudah bermuatan sifat tamak, alih-alih akan membawa kebaikan kepada pelakunya, bahkan ketika keuntungan yang besar itu didapatnya, di akhirnya hanya akan menghempaskan dirinya ke dalam keterpurukan. Yang lebih berhahaya lagi adalah, ketamakan ini dapat merusak kehidupan. Ketamakan itu ibarat api: dari setitik namun bisa membakar seluruh alam semesta.
Contoh semacam ini sangat banyak.
Manfaat Kebaikan (Maslahat)
Jika niat sudah benar, maka jenis usaha apa yang hendak dipilih tentu akan terpandu dengan lebih jelas, yaitu pilihan jenis usaha yang hanya benar-benar membawa manfaat bagi kehidupan.
Berikut hanya sebuah contoh sederhana. Sama-sama jumlah modalnya, yang satu dirupakan menjadi sebuah bisnis sebutlah "Rental Play Station", sedang yang satu lagi dirupakan dalam bisnis dagang sembako. Bisa jadi kalau dihitung menurut perhitungan lokasi, segmen pasar dsb, katakanlah kedua bisnis ini mendapat keuntungan yang sama (diawali dengan modal yang sama), namun di mata Allah nilainya sangat berbeda. Yang pertama, secara kasat mata berpotensi mafsadat (terjadi kerusakan: mental, moral dll), sementara yang kedua membawa kemaslahatan karena memenuhi kebutuhan pokok manusia.
Taqwa dan Keindahan Akhlak
KH Syukron Makmun, pada tahun 1980an pernah menuturkan sebuah kisah klasik. Ada dua orang bertentangga. Yang satu jual tanah, yang kedua beli tanah. Suatu hari si Kedua ini menggali tanah dan menemukan sebongkah emas di dalamnya. Si Kedua berpikir, "Ini emas pasti milik tetanggaku itu."
Iapun menemui tetangga (si Pertama) yang menjual tanahnya itu. Namun si Pertama menolak emas itu. Ia mengatakan, "Engkau telah membeli tanah itu, apa saja yang ada di dalamnya telah menjadi milikmu."
Dua orang ini akhirnya menemui hakim. Hakim yang bijaksana mendengar keduanya, dan kemudian bertanya kepada si Pertama, "Kamu mempunyai anak laki-laki?" Kemudian dijawab, ya.
"... dan kamu mempunyai anak perempuan," tanyanya kepada si Kedua. Dijawab pula, ya.
"Kalau demikian, nikahkanlah kedua anak kalian, berikan emas itu kepada mereka."
Kini, ketaqwaan dan keluhuran akhlak seperti yang terceritakan dalam kisah di atas, mungkin menjadi barang langka atau bahkan kisah aneh dalam dunia muamalat. Namun, lewat ketaqwaan dan keindahan akhlak inilah Allah akan menurunkan barakah yang mencurah dan menghiasi suatu transaksi muamalat.
Ketaqwaan ini akan menjadi rambu-rambu bagi seseorang untuk tidak berlaku curang seperti mengurangi timbangan dll. Sedangkan keindahan akhlak membuat sebuah transaksi menjadi aktivitas yang memberikan kegembiraan kepada kedua belah pihak.
Amanah sebagai Kunci
Salah satu kunci keselamatan dan keberhasilan seorang enterpreneur adalah sifat amanah. Keberhasilan bisnis Rasulullah sangat ditentukan oleh sifat amanah yang tersemat dalam diri beliau. Namun yang harus dicatat di sini adalah bukan kita memegangi sifat amanah agar bisnis kita berhasil, namun sifat amanah itu kita harus kita pegangi karena kita sebagai orang beriman harus bersifat amanah. Perkara sifat amanah itu kita bawa dalam aktivitas wirausaha kita, maka itu akan menjadi jaminan keuntungan bahwa itu akan berkonsekuensi logis pada keberhasilan usaha.
Sementara, wirausaha adalah suatu aktivitas muamalat yang melibatkan para pihak. Jika ada kekhawatiran di antara para pihak bersebab hilangnya sifat amanah, tidak adanya saling percaya, maka mana mungkin terjadi suatu transaksi yang menguntungkan. Soal ini tentu sangat mudah dipahami.
Dengan sifat amanah pula, maka suatu aktivitas perniagaan akan saling menyelamatkan siapapun pihak yang bertransaksi. Seorang pedagang yang menyembunyikan kebusukan pada barang dagangannya, bukankah itu sama dengan mencuri hak milik seorang pembeli untuk suatu yang seharusnya tidak ia bayarkan?
Menegakkan Keadilan
Bagian yang agak sulit namun harus dilakukan dalam suatu wirausaha adalah menegakkan keadilan. Selama ini kita cenderung menghubungkan keadilan hanya terkait dengan dunia hukum atau kepemimpinan. Namun percayalah, bahwa dalam enterpreneurship pun kita harus menetapi prinsip-prinsip keadilan.
Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah tindakan atau apapun terkait usaha yang menyangkut perjanjian, transaksi, pemberian upah, penetapan harga, hendaknya dilakukan dengan perhitungan yang setepat-tepatnya. Sehingga, ketika kita memperoleh keuntungan, itu kita peroleh secara proporsional sesuai dengan kapasitas yang kita lakukan, juga tanpa merugikan atau menzhalimi orang lain, apakah itu mitra bisnis, karyawan, atau sekadar seorang kurir (yang menjadi pihak perantara) atas terjadinya suatu transaksi.
Menegakkan keadilan adalah suatu kewajiban yang harus kita penuhi. Karena di titik inilah malaikat pencatat amalan "sedang memelototi" apakah yang kita lakukan adalah tindakan kebaikan atau keburukan. Jika kita berbuat adil, maka kebaikanlah hasilnya. Jika tidak atau zalim, maka kerugianlah yang terjadi, apakah di pihak kita atau pihak orang lain.
Menjual yang Halal
Dan.... tentu saja yang kita niagakan dalam konteks semua pembicaraan di atas adalah produk yang halal, baik berupa barang atau jasa. Ini tidak lain karena memang hanya yang halal-lah yang boleh kita konsumsi/gunakan. Sesungguhnya dibandingkan yang dilarang, yang halal jauh lebih banyak. Ini adalah rahmat Allah kepada umat manusia untuk menjalankan amanahnya sebagai khalifah yang diberikan banyak kemudahan. Namun banyak manusia tidak bersyukur, bahkan mereka memakan yang diharamkan.
Demikian sekadar pembuka diskusi.
π΄ *Tanya Jawab :*
1⃣ Ani_Jombang
Saat kita berwirausaha (dagang) niat karena Allah,lalu kita open donasi dari keuntungan yang kita dapat untuk santunan yatim piatu dan dhuafa,karena untuk sedekah sendiri masih belum bisa secara materi jadi dengan cara dagang,bagaimana Ustadz?. Apakah bisa dibilang syar'i ?
✍ *Jawab :*
InsyaAllah syar’i (diperbolehkan). Hanya memang di sini ada sisi “bahaya”-nya. Yaitu bercampurnya harta kita dengan harta yang dimaksudkan untuk sedekah. Selain itu, hal ini sangat rawan thd munculnya fitnah.
Olh krn itu, sebaiknya diantisipasi dengan cara membuat statement kpd pembeli, misalnya dg tulisan: “Setiap belanja di warung ini, ...% keuntungan disedekahkan utk...”
Kemudian dibuat catatan yg jelas dan dibuat laporan secara tertulis yg bisa dibaca oleh pembeli, ttg penyaluran sedekah/donasi. InsyaAllah ini membuat pembeli akan percaya.
π Alhamdulillah setiap keuntungan yang masuk sudah masuk ke tempat nya Ustadz,jadi in syaa Allah tidak tercampur
Jazzakallahu Khoiron jazza Ustadz atas jawabannya ππ»
2). Kasih_Makassar
apakah termasuk halal kah pendapatan kita ustadz jika barang yg kita jual bukan milik kita. sperti membantu menjualkan, tetapi keuntungan kita up sendiri ?
π΄ *Jawaban :*
Tergantung kesepakatannya. Jika pemilik barang memang sudah melepaskan barang utk dibantu dijualkan dg memberi keleluasaan dlm mengambil keuntungan, insyaAllah sudah halal. Di sini yg perlu diperhatikan adalah kesepakatannya (akad).
π meskipun kondisi barang kita tdk tau ustadz? sperti sistem dropship?
π³ Prinsip jual beli di antararnya adalah saling ridha, tidak ada unsur penipuan, tidak ada unsur riba, tidak ada gharar (spekulasi), dan tdk ada yg dirugikan.
Jadi dlm jual beli online misalnya, memang harus jelas deskripsi barangnya, shg pembeli tahu spt apa barang yang dibeli).
Sementara Pihak dropshiper (dlm hal ini sbg agen/toko) melakukan pekerjaannya sesuai (taat pada) kepakatan dg pihak yg punya barang.
π Alhamdulillah barangnya mempunyai deskripsi yg jelas, tertera di gambar produknya ustadz. berarti bisa dikatakan dropshiping tdk masalah ya ustadz?
dan jika dropshipper taat pada kesepakatan dgn pihak yg punya barang, penghasilannya berarti halal ustadz?
π³Insya Allah.
3). Anis
Ijin bertanya ustadz,
Seberapa besar (brp %) keuntungan yg harus Kita ambil agar perniagaan/perdagangan kita mjd berkah?
π΄ *Jawab :*
Tidak ada ketentuan baku soal berapa persen. Di sini yang dibutuhkan adalah rasa keadilan. Jangan sampai yang membeli terlalu berat, juga yang membuat atau penjual memperoleh keuntungan terlalu besar. Hindari sikap berlebihan seperti dlm mengambil keuntungan.
πΈπΉ
〰〰〰〰〰〰π¦
π€ : Sholcan *Nidar*
✍πΌ : Sholcan *Arni*
πΉ
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
WAG : Telaga Surga
FB : Telaga Surga
IG : Telaga_Surga
Youtube : Telaga Surga
Blog : http://telagasurga17.blogspot.co.id/
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
ππ
*GROUP TELAGA SURGA*
π : Senin, 09 Juli 2018
⏰ : 19.30 wib sd selesai
π *"PILAR-PILAR SYAR'I DALAM WIRAUSAHA"*
π³ *USTADZ MUH. ROZY*
π
*Ψ¨ΩΩΩΨ³Ω Ψ§ΩΩّΩ Ψ§ΩΨ±ّΨΩ Ω Ψ§ΩΨ±ّΨΩΩ *
*Pilar-pilar Syar'i dalam Wirausaha*
Entah mengapa, ketika disodori tema ini, terutama diksi "pilar-pilar", yang terpikir oleh saya bukannya terkait "manajemen yang syar'i", "kecukupan modal", "strategi pasar", atau bentuk-bentuk akad muamalat seperti musyarakah, mudharabah, dll. Yang justru terpikir oleh saya adalah nilai-nilai dasar dalam bermu'amalah yang sesungguhnya ini bernilai prinsipil. Maka, fokus pada tema, inilah beberapa prinsip dasar yang akan menyangga keberlangsungan suatu bentuk usaha mandiri.
Selalu, awalnya dari niat
Setiap amal tergantung dari niatnya. Demikian pula suatu amal semacam wiraniaga atau wirausaha, amal ini akan memperoleh balasan-balasan kebaikan dan keberkahan dari Allah tergantung dari niatnya. Wirausaha itu seakan-akan amalan duniawi, namun jika niatnya benar, maka ia bukan hanya menjadi amalan duniawi semata, bahkan buah keuntungannya akan dapat berlipat-lipat hingga ke surga kelak. Karena ada yang berkesebalikan, ada amalan tampaknya sebuah amal akherat, namun karena niatnya duniawi, bekas kebaikannya tidak akan dirasakan selama di dunia, apatah lagi di akherat.
Lalu, niat seperti apa yang menjadikan suatu wirausaha dapat bernilai akherat. Ialah, hendaknya dalam diri seorang yang sedang akan menjalankan suatu wirausaha, tertanam kesadaran dalam dirinya, bahwa apa yang dilakukannya semata-mata karena Allah. Bahwa kepada setiap hamba, Allah telah mengamanahkan kepada mereka untuk menjadi khalifah yang memakmurkan kehidupan di atas bumi.
Niat yang benar dalam wirausaha adalah melayani kehidupan, bukan semata-mata kebutuhan manusia. Karena memang inilah amanah dari Allah.
Berwirausaha, seharusnya berpijak dari kesadaran ini. Karena dari kesadaran niat inilah, seseorang dapat terhindar dari kesia-siaan amal shaleh bernama perdagangan.
Yang jelas pasti harus dihindari oleh setiap pribadi yang terjun dalam dunia wirausaha adalah niatan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Niatan ini sendiri sudah bermuatan sifat tamak, alih-alih akan membawa kebaikan kepada pelakunya, bahkan ketika keuntungan yang besar itu didapatnya, di akhirnya hanya akan menghempaskan dirinya ke dalam keterpurukan. Yang lebih berhahaya lagi adalah, ketamakan ini dapat merusak kehidupan. Ketamakan itu ibarat api: dari setitik namun bisa membakar seluruh alam semesta.
Contoh semacam ini sangat banyak.
Manfaat Kebaikan (Maslahat)
Jika niat sudah benar, maka jenis usaha apa yang hendak dipilih tentu akan terpandu dengan lebih jelas, yaitu pilihan jenis usaha yang hanya benar-benar membawa manfaat bagi kehidupan.
Berikut hanya sebuah contoh sederhana. Sama-sama jumlah modalnya, yang satu dirupakan menjadi sebuah bisnis sebutlah "Rental Play Station", sedang yang satu lagi dirupakan dalam bisnis dagang sembako. Bisa jadi kalau dihitung menurut perhitungan lokasi, segmen pasar dsb, katakanlah kedua bisnis ini mendapat keuntungan yang sama (diawali dengan modal yang sama), namun di mata Allah nilainya sangat berbeda. Yang pertama, secara kasat mata berpotensi mafsadat (terjadi kerusakan: mental, moral dll), sementara yang kedua membawa kemaslahatan karena memenuhi kebutuhan pokok manusia.
Taqwa dan Keindahan Akhlak
KH Syukron Makmun, pada tahun 1980an pernah menuturkan sebuah kisah klasik. Ada dua orang bertentangga. Yang satu jual tanah, yang kedua beli tanah. Suatu hari si Kedua ini menggali tanah dan menemukan sebongkah emas di dalamnya. Si Kedua berpikir, "Ini emas pasti milik tetanggaku itu."
Iapun menemui tetangga (si Pertama) yang menjual tanahnya itu. Namun si Pertama menolak emas itu. Ia mengatakan, "Engkau telah membeli tanah itu, apa saja yang ada di dalamnya telah menjadi milikmu."
Dua orang ini akhirnya menemui hakim. Hakim yang bijaksana mendengar keduanya, dan kemudian bertanya kepada si Pertama, "Kamu mempunyai anak laki-laki?" Kemudian dijawab, ya.
"... dan kamu mempunyai anak perempuan," tanyanya kepada si Kedua. Dijawab pula, ya.
"Kalau demikian, nikahkanlah kedua anak kalian, berikan emas itu kepada mereka."
Kini, ketaqwaan dan keluhuran akhlak seperti yang terceritakan dalam kisah di atas, mungkin menjadi barang langka atau bahkan kisah aneh dalam dunia muamalat. Namun, lewat ketaqwaan dan keindahan akhlak inilah Allah akan menurunkan barakah yang mencurah dan menghiasi suatu transaksi muamalat.
Ketaqwaan ini akan menjadi rambu-rambu bagi seseorang untuk tidak berlaku curang seperti mengurangi timbangan dll. Sedangkan keindahan akhlak membuat sebuah transaksi menjadi aktivitas yang memberikan kegembiraan kepada kedua belah pihak.
Amanah sebagai Kunci
Salah satu kunci keselamatan dan keberhasilan seorang enterpreneur adalah sifat amanah. Keberhasilan bisnis Rasulullah sangat ditentukan oleh sifat amanah yang tersemat dalam diri beliau. Namun yang harus dicatat di sini adalah bukan kita memegangi sifat amanah agar bisnis kita berhasil, namun sifat amanah itu kita harus kita pegangi karena kita sebagai orang beriman harus bersifat amanah. Perkara sifat amanah itu kita bawa dalam aktivitas wirausaha kita, maka itu akan menjadi jaminan keuntungan bahwa itu akan berkonsekuensi logis pada keberhasilan usaha.
Sementara, wirausaha adalah suatu aktivitas muamalat yang melibatkan para pihak. Jika ada kekhawatiran di antara para pihak bersebab hilangnya sifat amanah, tidak adanya saling percaya, maka mana mungkin terjadi suatu transaksi yang menguntungkan. Soal ini tentu sangat mudah dipahami.
Dengan sifat amanah pula, maka suatu aktivitas perniagaan akan saling menyelamatkan siapapun pihak yang bertransaksi. Seorang pedagang yang menyembunyikan kebusukan pada barang dagangannya, bukankah itu sama dengan mencuri hak milik seorang pembeli untuk suatu yang seharusnya tidak ia bayarkan?
Menegakkan Keadilan
Bagian yang agak sulit namun harus dilakukan dalam suatu wirausaha adalah menegakkan keadilan. Selama ini kita cenderung menghubungkan keadilan hanya terkait dengan dunia hukum atau kepemimpinan. Namun percayalah, bahwa dalam enterpreneurship pun kita harus menetapi prinsip-prinsip keadilan.
Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah tindakan atau apapun terkait usaha yang menyangkut perjanjian, transaksi, pemberian upah, penetapan harga, hendaknya dilakukan dengan perhitungan yang setepat-tepatnya. Sehingga, ketika kita memperoleh keuntungan, itu kita peroleh secara proporsional sesuai dengan kapasitas yang kita lakukan, juga tanpa merugikan atau menzhalimi orang lain, apakah itu mitra bisnis, karyawan, atau sekadar seorang kurir (yang menjadi pihak perantara) atas terjadinya suatu transaksi.
Menegakkan keadilan adalah suatu kewajiban yang harus kita penuhi. Karena di titik inilah malaikat pencatat amalan "sedang memelototi" apakah yang kita lakukan adalah tindakan kebaikan atau keburukan. Jika kita berbuat adil, maka kebaikanlah hasilnya. Jika tidak atau zalim, maka kerugianlah yang terjadi, apakah di pihak kita atau pihak orang lain.
Menjual yang Halal
Dan.... tentu saja yang kita niagakan dalam konteks semua pembicaraan di atas adalah produk yang halal, baik berupa barang atau jasa. Ini tidak lain karena memang hanya yang halal-lah yang boleh kita konsumsi/gunakan. Sesungguhnya dibandingkan yang dilarang, yang halal jauh lebih banyak. Ini adalah rahmat Allah kepada umat manusia untuk menjalankan amanahnya sebagai khalifah yang diberikan banyak kemudahan. Namun banyak manusia tidak bersyukur, bahkan mereka memakan yang diharamkan.
Demikian sekadar pembuka diskusi.
π΄ *Tanya Jawab :*
1⃣ Ani_Jombang
Saat kita berwirausaha (dagang) niat karena Allah,lalu kita open donasi dari keuntungan yang kita dapat untuk santunan yatim piatu dan dhuafa,karena untuk sedekah sendiri masih belum bisa secara materi jadi dengan cara dagang,bagaimana Ustadz?. Apakah bisa dibilang syar'i ?
✍ *Jawab :*
InsyaAllah syar’i (diperbolehkan). Hanya memang di sini ada sisi “bahaya”-nya. Yaitu bercampurnya harta kita dengan harta yang dimaksudkan untuk sedekah. Selain itu, hal ini sangat rawan thd munculnya fitnah.
Olh krn itu, sebaiknya diantisipasi dengan cara membuat statement kpd pembeli, misalnya dg tulisan: “Setiap belanja di warung ini, ...% keuntungan disedekahkan utk...”
Kemudian dibuat catatan yg jelas dan dibuat laporan secara tertulis yg bisa dibaca oleh pembeli, ttg penyaluran sedekah/donasi. InsyaAllah ini membuat pembeli akan percaya.
π Alhamdulillah setiap keuntungan yang masuk sudah masuk ke tempat nya Ustadz,jadi in syaa Allah tidak tercampur
Jazzakallahu Khoiron jazza Ustadz atas jawabannya ππ»
2). Kasih_Makassar
apakah termasuk halal kah pendapatan kita ustadz jika barang yg kita jual bukan milik kita. sperti membantu menjualkan, tetapi keuntungan kita up sendiri ?
π΄ *Jawaban :*
Tergantung kesepakatannya. Jika pemilik barang memang sudah melepaskan barang utk dibantu dijualkan dg memberi keleluasaan dlm mengambil keuntungan, insyaAllah sudah halal. Di sini yg perlu diperhatikan adalah kesepakatannya (akad).
π meskipun kondisi barang kita tdk tau ustadz? sperti sistem dropship?
π³ Prinsip jual beli di antararnya adalah saling ridha, tidak ada unsur penipuan, tidak ada unsur riba, tidak ada gharar (spekulasi), dan tdk ada yg dirugikan.
Jadi dlm jual beli online misalnya, memang harus jelas deskripsi barangnya, shg pembeli tahu spt apa barang yang dibeli).
Sementara Pihak dropshiper (dlm hal ini sbg agen/toko) melakukan pekerjaannya sesuai (taat pada) kepakatan dg pihak yg punya barang.
π Alhamdulillah barangnya mempunyai deskripsi yg jelas, tertera di gambar produknya ustadz. berarti bisa dikatakan dropshiping tdk masalah ya ustadz?
dan jika dropshipper taat pada kesepakatan dgn pihak yg punya barang, penghasilannya berarti halal ustadz?
π³Insya Allah.
3). Anis
Ijin bertanya ustadz,
Seberapa besar (brp %) keuntungan yg harus Kita ambil agar perniagaan/perdagangan kita mjd berkah?
π΄ *Jawab :*
Tidak ada ketentuan baku soal berapa persen. Di sini yang dibutuhkan adalah rasa keadilan. Jangan sampai yang membeli terlalu berat, juga yang membuat atau penjual memperoleh keuntungan terlalu besar. Hindari sikap berlebihan seperti dlm mengambil keuntungan.
πΈπΉ
〰〰〰〰〰〰π¦
π€ : Sholcan *Nidar*
✍πΌ : Sholcan *Arni*
πΉ
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
WAG : Telaga Surga
FB : Telaga Surga
IG : Telaga_Surga
Youtube : Telaga Surga
Blog : http://telagasurga17.blogspot.co.id/
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
ππ
Komentar
Posting Komentar